Minggu, 28 Juli 2013

Letak Terompet Malaikat Israfil Berhasil Ditemukan Oleh Ilmuwan


“Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang di lakukan oleh malaikat Israfil?” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Israfil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung.

Sebenarnya seperti apa sih terompetnya atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala malaikat Israfil itu ?

Quote:Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman melakukan observasi terhadap alam semesta untuk menemukan bentuk sebenarnya dari alam semesta raya ini sebab prediksi yang umum selama ini mengatakan bahwa alam semesta berbentuk bulat bundar atau prediksi lain menyebutkan bentuknya datar saja.
Menggunakan sebuah peralatan canggih milik NASA yang bernama “Wilkinson Microwave AnisotropyProb” (WMAP), mereka mendapatkan sebuah kesimpula nyang sangat mencengangkan karena menurut hasil penelitian tersebut alam semesta ini ternyata berbentuk seperti terompet.Di mana pada bagian ujung belakang terompet (alam semesta) merupakan alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable), sedang bagian depan, di mana bumi dan seluruh sistem tata surya berada merupakan alam semesta yang masih mungkin untuk diamati (observable)



Di dalam kitab Tanbihul Ghofilin Jilid 1 hal. 60 ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang kejadian kiamat yang pada bagian awalnya sangat menarik untuk dicermati.

Quote:Abu Hurairah ra berkata :
Rasulullah saw bersabda :
“Ketika Allah telah selesai menjadikan langit dan bumi, Allah menjadikan sangkakala (terompet) dan diserahkan kepada malaikat Isrofil, kemudian ia letakkan dimulutnya sambil melihat ke Arsy menantikan bilakah ia diperintah".
Saya bertanya :
“Ya Rasulullah apakah sangkakala itu?”
Jawab Rasulullah :
“Bagaikan tanduk dari cahaya”.
Saya tanya :
“Bagaimana besarnya?”
Jawab Rasulullah :
“Sangat besar bulatannya, demi Allah yang mengutusku sebagai Nabi, besar bulatannya itu seluas langit dan bumi, dan akan ditiup hingga tiga kali.
Pertama : Nafkhatul faza’ (untuk menakutkan).
Kedua : Nafkhatus sa’aq (untuk mematikan).
Ketiga: Nafkhatul ba’ats (untuk menghidupkan kembali atau membangkitkan).” (HR. Bukhari Muslim)


Dalam hadits di atas disebutkan bahwa sangkakala atau terompet malaikat Isrofil itu bentuknya seperti tanduk dan terbuat dari cahaya. Ukuran bulatannya seluas langit dan bumi. Bentuk laksana tanduk mengingatkan kita pada terompet orang – orang jaman dahulu yang terbuat dari tanduk.


Quote:Dan Allah telah mengabarkan kedahsyatan terompet malaikat Isrofil itu dalam surah An Naml ayat 87 : “Dan pada hari ketika terompet di tiup, maka terkejutlah semua yang di langit dan semua yang di bumi kecuali mereka yang di kehendaki Allah. Dan mereka semua datang menghadapNya dengan merendahkan diri.”

Makhluk langit saja bisa terkejut apalagi makhluk bumi yang notabene jauh lebih lemah dan lebih kecil. Pada sambungan hadits di atas ada sedikit preview tentang seperti apa keterkejutan dan ketakutan makhluk bumi kelak.

“Pada saat tergoncangnya bumi, manusia bagaikan orang mabuk sehingga ibu yang mengandung gugur kandungannya, yang menyusui lupa pada bayinya, anak – anak jadi beruban dan setan – setan berlarian.”

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, jika terompetnya saja sebesar itu, bagaimana dengan peniupnya dan bagaimana pula Sang Pencipta keduanya? Maha Besar Engkau Ya Allah.



Quote:Kalimat seluas langit dan bumi dapat dipahami sebagai ukuran yang meliputi/ mencakup seluruh wilayah langit (sebagai lambang alam tak nyata/ghoib) dan bumi (sebagai lambang alam nyata/ syahadah). Atau dengan kata lain, bulatan terompet malaikat Isrofil itu melingkar membentang dari alam nyata hingga alam ghoib.





Minggu, 30 Juni 2013

PAJAK PENGHASILAN UMUM

BAB 1
PENDAHULUAN
1.       
1.1.      Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber pemasukan utama APBN yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Alokasi pajak tidak hanya untuk rakyat pembayaran pajak, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib membayar pajak. Dengan demikian, pajak berfungsi mengurangi kesenjangan antar penduduk sehingga pemerataan kesejahteraan bisa tercapai. Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah.

1.2.      Tujuan
1.2.1.      Memahami subjek pajak penghasilan dan pengecualiannya.
1.2.2.      Memahami kewajiban pajak subjektif.
1.2.3.      Memahami objek pajak penghasilan.
1.2.4.      Memahami penghasilan yang dipotong pajak bersifat final.
1.2.5.      Memahami pengecualian objek pajak.
1.2.6.      Memahami pengurangan yang diperkenankan dari penghasilan bruto.
1.2.7.      Memahami penghasilan wanita kawin (Suami Istri).
1.2.8.      Memahami pengurangan yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan.
1.2.9.      Memahami sistem penilaian dalam perpajakan.
1.2.10.  Memahami perhitungan Pajak Penghasilan Terutang.
1.2.11.  Memahami hubungan istimewa.
1.2.12.  Memahami perhitungan dan pembayaran pajak pada akhir tahun.


BAB 2
PEMBAHASAN

Sejak tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut  berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pembahasan Pajak Penghasilan berikut ini didasarkan pada Undang-undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
2.      D
2.1.      Subjek Pajak PPh dan Pengecualiannya
Yang dimaksud Subjek Pajak adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan.
2.1.1.Pembagian Subjek Pajak
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 subjek pajak dibagi menjadi Subjek Pajak Orang Pribadi, Subjek Pajak Warisan Belum Dibagi, Subjek Pajak Badan dan Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 36 Th. 2008, Subjek Pajak penghasilan dibagi menjadi dua, yakni :
2.1.1.1.Subjek Pajak Dalam Negeri
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu, dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2.1.1.2.Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah : Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2.1.2.Pengecualian Subjek Pajak
Yang tidak termasuk subjek pajak, yaitu : Kantor perwakilan negara asing; Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat; bukan WNI dan di Indonesia tidak memperoleh penghasilan di luar pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; Organisasi-organisasi international dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan tidak menjalankan kegiatan utuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international, dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.2.      Kewajiban Pajak Subjektif
2.2.1.Subjek Pajak Dalam Negeri
Kewajiban Subjek Pajak orang pribadi dimulai saat orang tersebut dilahirkan atau berada atau berniat tinggal di Indonesia, dan berakhir saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, sedangkan Kewajiban Subjek Pajak BUT dimulai saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
2.2.2.Subjek pajak Luar Negeri
Kewajiban Subjek Pajak Non BUT dimulai saat mempunyai penghasilan di Indonesia, dan Subjek pajak BUT dimulai saat melakukan usaha melalui BUT di Indonesia.
2.2.3.   Warisan Belum Terbagi
Kewajiban Pajak atas Warisan belum terbagi dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan sudah terbagi.

2.3.      Objek Pajak Pajak Penghasilan
2.3.1.Pengertian penghasilan
Menurut Undang-undang Perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima atau diperoleh WP (Wajib Pajak), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP yang bersangkutan dan dalam bentuk apapun.
2.3.2.Objek pajak penghasilan
Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008, objek pajak penghasilan adalah seperti berikut ini :
2.3.2.1.            Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.3.2.2.            Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan;
2.3.2.3.            Laba usaha;
2.3.2.4.            Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
2.3.2.5.            Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
2.3.2.6.            Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
2.3.2.7.            Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2.3.2.8.            Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
2.3.2.9.            Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2.3.2.10.        Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
2.3.2.11.        Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
2.3.2.12.        Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
2.3.2.13.        Premi asuransi;
2.3.2.14.        Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2.3.2.15.        Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak
2.3.2.16.        Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
2.3.2.17.        Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
2.3.2.18.        Surplus Bank Indonesia.

2.4.      Penghasilan yang Dipotong Pajak Bersifat Final
Penghasilan yang dikenai pajak bersift final berdasar pada UU No. 36 tahun 2008 adalah :
2.4.1.Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2.4.2.Penghasilan berupa hadiah undian;
2.4.3.Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
2.4.4.Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangungan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan penghasilan tertentu lainnya.
Yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

2.5.      Pengecualian Objek Pajak PPh
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak adalah: (a) Bantuan atau Sumbangan dan Hibah; (b) Warisan; (c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal; (d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang ditperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
(e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; (f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, bumn, atau bumd, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
(g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; (h)Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
(i) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; (j) Dihapus;
(k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut; Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
(l) Surplus Bank Indonesia selama jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya ketentuan ini; (m) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan; (n) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan formal, yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Ketentuan Menteri Keuangan.

2.6.      Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Yang menjadi objek pajak Bentuk Usaha Tetap adalah :
2.6.1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
2.6.2.      Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
2.6.3.      Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Biaya-biaya yang berkenaan dengan upaya memperoleh penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan BUT. Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, maka biaya administrasi kantor pusat yang tidak diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dan pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harga, paten, atau hak-hak lainnya; imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; dan bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

2.7.      Pengurangan yang Diperkenankan Dari Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah :
2.7.1.   Satu, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
                 (a) Biaya-biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain ; biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan; bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak, kecuali pajak penghasilan;
                 (b) penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempuyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; (c) iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
                 (d) kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; (e) kerugian dari selisih kurs mata uang asing; (f) biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; (g) biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
                 (h) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: (1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; (2) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan (3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikannya dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; (4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil (Pasal 4 ayat (1) huruf k); yang pelaksanaannya diatur lebih lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; (i), (j), (k), (l), dan (m) Sumbangan yang dapat dibayarkan
2.7.2.   Dua, Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun berikutnya.
2.7.3.   Tiga, Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
      Besarnya PTKP untuk WP orang pribadi menurut Pasal 7 UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku per 1 Januari 2009, adalah seperti tabel dibawah ini :
Status Wajib Pajak
Besarnya PTKP
·         Untuk Diri Wajib Pajak
·         Tambahan untuk WP Kawin
·         Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
·         Tambahan untuk setiap anggota keluarga (maksimal 3 orang)
Rp  15.840.000
Rp    1.320.000
Rp  15.840.000

Rp    1.320.000

            Namun PTKP yang berlaku saat ini (2012 s/d sekarang) itu adalah :
PTKP
PMK162/PMK.011/2012
Status Wajib Pajak
Besarnya PTKP
·         Untuk Diri Wajib Pajak
·         Tambahan untuk WP Kawin
·         Tambhan untuk setiap anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 orang
Rp 24.300.000
Rp   2.025.000
Rp   2.025.000

2.8.      Penghasilan Wanita Kawin (Suami Istri)
Wanita yang belum kawin dianggap sebagai WP yang mempunyai kewajiban membayar pajak atas dirinya. Jika wanita tersebut mempunyai tanggungan sesuai dengan peraturan perpajakan dapat menambah besarnya PTKP yang akan dikurangkan dari penghasilannya. Namun jika wanita tersebut menikah, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada suaminya. Dengan demikian, penghasilan yang diterima dan kerugian yang diderita wanita kawin tersebut dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penghasilan wanita tersebut berasal dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong oleh pemberi kerja, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) penghasilan yang diterima oleh wanita tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja, dan (2) penghasilannya berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

2.9.      Pengurangan yang Tidak Diperkenankan Sebagai Pengurangan Penghasilan
Berikut ini Biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT seperti disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 : (a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi; (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
(c) pembentukan atau pemupukan dana cadangan; (d) premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh WP orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan; (e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
(f) jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; (g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
(h) pajak penghasilan; (i) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya; (j) gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak dibagi atas saham; (k) sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2.10.  Sistem Penilaian Dalam Perpajakan
Berikut ini diuraikan ketentuan-ketentuan penilaian harta, menurut Pasal 10 UU No. 36 Tahun 2008 :
2.10.1.  Penilaian Dalam Hal Jual Beli Harta
Jika terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa maka harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima. Sedangkan jika terdapat hubungan istimewa, maka harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2.10.2.  Penilaian Dalam Hal Tukar Menukar Harta
Jika terjadi tukar menukar harta maka nilai perolehan penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
2.10.3.  Penilaian Dalam Hal Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan Usaha
Penilaian berdasarkan pasal 10 ayat 3, nilai perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
2.10.4.  Pengalihan Harta Sebagai Pengganti Saham
Jika terjadi penyerahan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka harga perolehan atau harga penjualan adalah harga harta yang dialihkan tersebut.
2.10.5.  Penilaian Persediaan
Menurut Pasal 10 ayat 6, persediaan dan pemakaian untuk perhitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Persediaan pada umumnya terdiri atas barang jadi, barang dalam proses, bahan baku, dan bahan pembantu.
Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Sedangkan pemakaian persediaan untuk perhitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata atau dengan menggunakan metode FIFO.

2.11.  Perhitungan Pajak Penghasilan Terutang
Besarnya pajak penghasilan yang terutang adalah perkalian antara penghasilan kena pajak dengan tarif pajak. Dengan demikian, penghasilan kena pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Untuk menghitung besarnya pajak terutang WP Pribadi dalam negeri dapat menggunakan cara biasa (pembukuan) atau cara norma perhitungan (NPPN). Disamping itu, untuk usaha-usaha khusus dengan pertimbangan karena kesederhanaan dapat menghitung PKP dengan Norma Perhitungan Khusus (NPK), berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Langkah-langkah cara menghitung pajak terutang adalah dengan menghitung penghasilan neto, penghasilan kena pajak, tarif pajak, kemudian menentukan besarnya pajak terutang. Berikut ini penjelasan dari langkah-langkah tersebut :
2.11.1.  Penghasilan Neto
Penghasilan neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan untuk dikurangkan berdasarkan peraturan perpajakan. Biaya tersebut adalah jumlah pengorbanan yang dinyatakan dalam nilai uang, yang langsung dibutuhkan untuk menghasilkan barang atau jasa.
2.11.1.1.  Menghitung penghasilan neto dengan cara pembukuan :
Penghasilan neto WP badan dihitung dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan menurut peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku.
2.11.1.2.  Menghitung penghasilan neto dengan norma perhitungan :
Norma Perhitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaannya hanya dilakukan jika tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang tidak lengkap, atau pembukuan atau catatan peredaran bruto WP ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Cara perhitungannya adalah seperti dibawah ini :
Penghasilan Neto = % Norma Perhitungan x Peredaran Usaha

Berikut ini ketentuan yang berkenaan dengan penggunaan Norma Perhitungan untuk menghitung penghasilan neto :
2.11.1.2.1.  Berdasarkan Pasal 14 ayat 2, 3, dan 4 UU No. 36 Tahun 2008 berturut-turut adalah jumlah peredaran bruto satu tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah); memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam tenggang waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan; dan WP yang mempunyai peredaran bruto sebesar yang disebut pada ayat 2, yang tidak melapor pada Dirjen Pajak, dianggap menyelenggarakan pembukuan.
2.11.1.2.2.  Wajib Pajak wajib mencatat peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas. Jika WP tersebut juga merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pengusaha Jasa Kena Pajak (PJKP), maka harus mencatat penyerahan PPN terutang dan PPN tidak terutang.
2.11.1.2.3.  Pencatatan bagi WP Pribadi berdasar Peraturan Dirjen Pajak No. PER-4/PJ/2008 adalah sebagai berikut :
WP Pribadi yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah WP yang melakukang kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan Norma Perhitungan; dan WP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
WP melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bermaksud menyelenggarakan pencatatan harus memperhatikan kententuan tentang batasan peredaran dan/atau penerimaan bruto bagi WP yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan.
WP harus menyelenggarakan pencatatan tentang peredaraan dan/atau penerimaan bruto, penghasilan bruto, yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, dan/atau penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2.11.2.  Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang.
2.11.3.  Tarif Pajak
Tarif Pajak adalah presentase tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang perpajakan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Besarnya tarif pajak penghasilan diatur dalam Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008, sehingga tarif ini dikenal dengan nama Tarif Umum PPh Pasal 17.
2.11.3.1.  Tarif Pajak Bagi WP OP Dalam Negeri
Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Rp. 0 - Rp. 50.000.000,00
5%
> Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000,00
15%
> Rp. 250.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00
25%
> Rp. 500.000.000,00
30%

2.11.3.2.  Tarif Pajak Bagi WP Badan Dalam Negeri dan BUT
a.       Menggunakan Tarif Tunggal 28% untuk Tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010.
b.      Bagi WP yang telah go public diberikan pengurangan 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat.
c.       Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tariff normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4,8 miliar.
d.      Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada WP OP dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan bersifat final.

2.11.4.  Menghitung Pajak Penghasilan Terutang
Skema Perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan menggunakan cara Pembukuan :
Penghasilan Bruto
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan neto usaha
Penghasilan lainnya
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya

Total penghasilan neto
Kompensasi kerugian
Penghasilan Kena Pajak
Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =




Rp. Xxx

Rp. Xxx -

Rp. Xxx

Rp. Xxx -
Rp. Xxx



Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx


Skema perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara Pembukuan :
Penghasilan Bruto
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan neto usaha
Kompensasi kerugian
Penghasilan neto setelah kompensasi kerugian
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak
Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =
Rp. Xxx

Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx

Skema perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara Norma Perhitungan :
Peredaran Usaha
1.      Penghasilan neto (menurut norma perhitungan):
(Peredaran Usaha x % norma perhitungan)
2.      Penghasilan lainnya
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya

Jumlah seluruh penghasilan neto
3.      Penghasilan Tidak Kena Pajak
4.      Penghasilan Kena Pajak
5.      Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =




Rp. Xxx

Rp. Xxx -

Rp. Xxx


Rp. Xxx -



Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx


2.12.  Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa akan menjadi penting dalam hubungannya untuk menentukan besarnya penghasilan dan/atau biaya yang akan dibebankan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
2.12.1.  Perbandingan Modal Dan Hutang
Dalam dunia usaha, terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara Hutang dan Modal (Debt Equity Ratio). Jika perbandingan antara hutang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Jika kondisinya demikian, Undang-undang menentukan adanya modal terselubung. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan pajak.
2.12.2.  Dividen yang Diperoleh di Luar Negeri
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan:
2.12.2.1.  Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor; atau
2.12.2.2.  Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki peyertaan 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
2.12.3.  Wewenang Dirjen Pajak Untuk Menentukan Kembali Penghasilan
Jika terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurag dari semestinya, ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam kondisi tersebut, Dirjen pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan sesuai dengan keadaan semestinya. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, dan indikasi serta data lainnya.
2.12.4.  Wewenang Dirjen Pajak Membuat Perjanjian Tentang Harga Transfer
Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan WP dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untu menentukan harga transfer, yang berlaku selama satu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan negosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APa) adalah kesepakatan antara WP dengan Dirjen Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan tersebut mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan.
2.12.5.  Penetapan Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa terjadi karena adanya keterkaitan, pertalian atau ketergantungan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa, faktor kepemilikan atau penyertaan, adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Dengan demikian, hubungan istimewa dianggap ada apabila: terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% atau lebih baik secara langsung maupun tidak langsung; Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya. Penguasaan yang baik langsung maupun tidak langsung, atau Hubungan istimewa juga bisa terjadi Karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan; dan terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan satu derajat dan/atau kesamping satu derajat.


2.13.  Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Pada Akhir Tahun
2.13.1.  Pembayaran Pajak Tahun Berjalan (Kredit Pajak)
Pasal-pasal yag menyangkut tentang pelunasan pajak tahun berjalan ini adalah pasal 21, 22, 23, 24, 25, dan 26. Berikut penjelasan dari pasal-pasal tersebut :
2.13.1.1.  Kredit Pajak PPh Pasal 21
Mengatur tentang pajak yang dibebankan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa.
2.13.1.2.  Kredit Pajak PPh Pasal 22
Mengatur tentang pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari usaha dimana pemungutannya melalui pihak ketiga.
2.13.1.3.  Kredit Pajak PPh Pasal 23
Pembayaran oleh WP dalam negeri yang menerima dividen dari perseroan dalam negeri, bunga termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang, sewa, royalti, dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, atau untuk pembayaran jasa.
2.13.1.4.  Kredit Pajak PPh Pasal 24
Mengatur tentang pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diperoleh WP dalam negeri di luar negeri, dan penghasilan tersebut merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.
2.13.1.5.  Kredit Pajak PPh Pasal 25
Untuk meringankan beban WP, pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak bisa diangsur setiap bulan. Besarnya jumlah angsuran setiap bulan berdasarkan pajak terutang yang tercantum pada SPT tahun sebelumnya.
2.13.1.6.  Kredit Pajak PPh Pasal 26
Mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersifat final.
2.13.2.  Kelebihan Pembayaran Pajak
Jika pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah kredit pajak, maka selisihnya bisa dimintakan kembali setelah dilakukan penghitungan dengan hutang pajak dan sanksinya.




2.13.3.  Pajak yang Kurang Disetor
Jika pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit pajaknya, maka sebelum penyampaian SPT harus dilakukan pelunasa atas pajak yang terutang tersebut. Pelunasan kekurangan pajak harus dilakukan selambat-lambatnya sebelum penyampaian SPT PPh (tanggal 31 Maret tahun berikutnya untuk WP OP, atau tanggal 30 April tahun berikutnya untuk WP Badan). Jika Wajib Pajak terlambat membayar kekurangan tersebut, maka Wajib Pajak dibebani denda bunga 2% sebulan.
2.13.4.  Pajak Terutang Nihil
Jika jumlah pajak yang terutang dalma suatu tahun pajak ternyata sama dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan, maka mengakibatkan pajak yang terutang menjadi “Nihil”. Namun demikian, Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk menyampaikan SPT sesuai dengan aturan, yaitu SPT harus disampaikan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.

2.14.  Fasilitas Perpajakan
Berdasarkan Pasal 31A UU No. 17 Tahun 2000, kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan; Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun; dan Pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.




2.15.  Pembagian Hasil Penerimaan PPh
Hasil penerimaan negara dari PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.

2.16.  Pengurangan Tarif Pasal 17
Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan taruf pajak sebesar 50% dari tarif umum pasal 17.










BAB 3
PENUTUP
3.      2
3.1. Kesimpulan
Dari bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Umum adalah pajak yang mengatur ketentuan umum subjek pajak dalam maupun luar negeri, baik itu untuk wajib pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, maupun BUT.
Dengan objek pajak maupun pengecualiannya, semuanya telah diatur pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang kemungkinan juga akan diperbaharui lagi dimasa mendatang, disesuaikan dengan kemajuan tingkat ekonomi masyarakat.
Telah disebutkan bahwa cara penghitungan pajak terutang adalah dengan mengetahui penghasilan netonya terlebih dahulu, yaitu penghasilan bruto yang telah dikurangi biaya-biaya yang boleh dikurangkan, kemudian untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP, dan setelahnya dapat ditetapkan tarif pajaknya yang dikenal dengan Tarif PPh Umum Pasal 17.

3.2. Saran
Untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang sadar pajak, atau taat bayar pajak, sebaiknya tatacara perpajakan selalu diperbaharui sedemikian rupa agar tidak menyulitkan masyarakat Indonesia dalam pengurusannya, dan sebanyak mungkin diadakan seminar-seminar tentang perpajakan, sehingga perpajakan bukan hanya menjadi materi didalam perkuliahan, atau di sekolah menengah tingkat atas.





DAFTAR PUSTAKA


Tjahjono, A., & Husein, M. F. (2009). Perpajakan. Jakarta: UPP-STIM YKPN.
Waluyo, & Ilyas, W. B. (2000). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Resmi, Siti (2009). Perpajakan Teori dan Kasus: Salemba Empat.

Minggu, 28 Juli 2013

Letak Terompet Malaikat Israfil Berhasil Ditemukan Oleh Ilmuwan

0 komentar

“Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang di lakukan oleh malaikat Israfil?” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Israfil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung.

Sebenarnya seperti apa sih terompetnya atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala malaikat Israfil itu ?

Quote:Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman melakukan observasi terhadap alam semesta untuk menemukan bentuk sebenarnya dari alam semesta raya ini sebab prediksi yang umum selama ini mengatakan bahwa alam semesta berbentuk bulat bundar atau prediksi lain menyebutkan bentuknya datar saja.
Menggunakan sebuah peralatan canggih milik NASA yang bernama “Wilkinson Microwave AnisotropyProb” (WMAP), mereka mendapatkan sebuah kesimpula nyang sangat mencengangkan karena menurut hasil penelitian tersebut alam semesta ini ternyata berbentuk seperti terompet.Di mana pada bagian ujung belakang terompet (alam semesta) merupakan alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable), sedang bagian depan, di mana bumi dan seluruh sistem tata surya berada merupakan alam semesta yang masih mungkin untuk diamati (observable)



Di dalam kitab Tanbihul Ghofilin Jilid 1 hal. 60 ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang kejadian kiamat yang pada bagian awalnya sangat menarik untuk dicermati.

Quote:Abu Hurairah ra berkata :
Rasulullah saw bersabda :
“Ketika Allah telah selesai menjadikan langit dan bumi, Allah menjadikan sangkakala (terompet) dan diserahkan kepada malaikat Isrofil, kemudian ia letakkan dimulutnya sambil melihat ke Arsy menantikan bilakah ia diperintah".
Saya bertanya :
“Ya Rasulullah apakah sangkakala itu?”
Jawab Rasulullah :
“Bagaikan tanduk dari cahaya”.
Saya tanya :
“Bagaimana besarnya?”
Jawab Rasulullah :
“Sangat besar bulatannya, demi Allah yang mengutusku sebagai Nabi, besar bulatannya itu seluas langit dan bumi, dan akan ditiup hingga tiga kali.
Pertama : Nafkhatul faza’ (untuk menakutkan).
Kedua : Nafkhatus sa’aq (untuk mematikan).
Ketiga: Nafkhatul ba’ats (untuk menghidupkan kembali atau membangkitkan).” (HR. Bukhari Muslim)


Dalam hadits di atas disebutkan bahwa sangkakala atau terompet malaikat Isrofil itu bentuknya seperti tanduk dan terbuat dari cahaya. Ukuran bulatannya seluas langit dan bumi. Bentuk laksana tanduk mengingatkan kita pada terompet orang – orang jaman dahulu yang terbuat dari tanduk.


Quote:Dan Allah telah mengabarkan kedahsyatan terompet malaikat Isrofil itu dalam surah An Naml ayat 87 : “Dan pada hari ketika terompet di tiup, maka terkejutlah semua yang di langit dan semua yang di bumi kecuali mereka yang di kehendaki Allah. Dan mereka semua datang menghadapNya dengan merendahkan diri.”

Makhluk langit saja bisa terkejut apalagi makhluk bumi yang notabene jauh lebih lemah dan lebih kecil. Pada sambungan hadits di atas ada sedikit preview tentang seperti apa keterkejutan dan ketakutan makhluk bumi kelak.

“Pada saat tergoncangnya bumi, manusia bagaikan orang mabuk sehingga ibu yang mengandung gugur kandungannya, yang menyusui lupa pada bayinya, anak – anak jadi beruban dan setan – setan berlarian.”

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, jika terompetnya saja sebesar itu, bagaimana dengan peniupnya dan bagaimana pula Sang Pencipta keduanya? Maha Besar Engkau Ya Allah.



Quote:Kalimat seluas langit dan bumi dapat dipahami sebagai ukuran yang meliputi/ mencakup seluruh wilayah langit (sebagai lambang alam tak nyata/ghoib) dan bumi (sebagai lambang alam nyata/ syahadah). Atau dengan kata lain, bulatan terompet malaikat Isrofil itu melingkar membentang dari alam nyata hingga alam ghoib.





Minggu, 30 Juni 2013

PAJAK PENGHASILAN UMUM

1 komentar
BAB 1
PENDAHULUAN
1.       
1.1.      Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber pemasukan utama APBN yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Alokasi pajak tidak hanya untuk rakyat pembayaran pajak, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib membayar pajak. Dengan demikian, pajak berfungsi mengurangi kesenjangan antar penduduk sehingga pemerataan kesejahteraan bisa tercapai. Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah.

1.2.      Tujuan
1.2.1.      Memahami subjek pajak penghasilan dan pengecualiannya.
1.2.2.      Memahami kewajiban pajak subjektif.
1.2.3.      Memahami objek pajak penghasilan.
1.2.4.      Memahami penghasilan yang dipotong pajak bersifat final.
1.2.5.      Memahami pengecualian objek pajak.
1.2.6.      Memahami pengurangan yang diperkenankan dari penghasilan bruto.
1.2.7.      Memahami penghasilan wanita kawin (Suami Istri).
1.2.8.      Memahami pengurangan yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan.
1.2.9.      Memahami sistem penilaian dalam perpajakan.
1.2.10.  Memahami perhitungan Pajak Penghasilan Terutang.
1.2.11.  Memahami hubungan istimewa.
1.2.12.  Memahami perhitungan dan pembayaran pajak pada akhir tahun.


BAB 2
PEMBAHASAN

Sejak tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut  berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pembahasan Pajak Penghasilan berikut ini didasarkan pada Undang-undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
2.      D
2.1.      Subjek Pajak PPh dan Pengecualiannya
Yang dimaksud Subjek Pajak adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan.
2.1.1.Pembagian Subjek Pajak
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 subjek pajak dibagi menjadi Subjek Pajak Orang Pribadi, Subjek Pajak Warisan Belum Dibagi, Subjek Pajak Badan dan Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 36 Th. 2008, Subjek Pajak penghasilan dibagi menjadi dua, yakni :
2.1.1.1.Subjek Pajak Dalam Negeri
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu, dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2.1.1.2.Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah : Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; dan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2.1.2.Pengecualian Subjek Pajak
Yang tidak termasuk subjek pajak, yaitu : Kantor perwakilan negara asing; Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat; bukan WNI dan di Indonesia tidak memperoleh penghasilan di luar pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; Organisasi-organisasi international dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan tidak menjalankan kegiatan utuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international, dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.2.      Kewajiban Pajak Subjektif
2.2.1.Subjek Pajak Dalam Negeri
Kewajiban Subjek Pajak orang pribadi dimulai saat orang tersebut dilahirkan atau berada atau berniat tinggal di Indonesia, dan berakhir saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, sedangkan Kewajiban Subjek Pajak BUT dimulai saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia, dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
2.2.2.Subjek pajak Luar Negeri
Kewajiban Subjek Pajak Non BUT dimulai saat mempunyai penghasilan di Indonesia, dan Subjek pajak BUT dimulai saat melakukan usaha melalui BUT di Indonesia.
2.2.3.   Warisan Belum Terbagi
Kewajiban Pajak atas Warisan belum terbagi dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan sudah terbagi.

2.3.      Objek Pajak Pajak Penghasilan
2.3.1.Pengertian penghasilan
Menurut Undang-undang Perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima atau diperoleh WP (Wajib Pajak), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP yang bersangkutan dan dalam bentuk apapun.
2.3.2.Objek pajak penghasilan
Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008, objek pajak penghasilan adalah seperti berikut ini :
2.3.2.1.            Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.3.2.2.            Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan;
2.3.2.3.            Laba usaha;
2.3.2.4.            Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
2.3.2.5.            Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
2.3.2.6.            Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
2.3.2.7.            Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2.3.2.8.            Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
2.3.2.9.            Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2.3.2.10.        Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
2.3.2.11.        Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah;
2.3.2.12.        Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
2.3.2.13.        Premi asuransi;
2.3.2.14.        Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2.3.2.15.        Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak
2.3.2.16.        Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
2.3.2.17.        Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
2.3.2.18.        Surplus Bank Indonesia.

2.4.      Penghasilan yang Dipotong Pajak Bersifat Final
Penghasilan yang dikenai pajak bersift final berdasar pada UU No. 36 tahun 2008 adalah :
2.4.1.Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2.4.2.Penghasilan berupa hadiah undian;
2.4.3.Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
2.4.4.Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangungan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan penghasilan tertentu lainnya.
Yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

2.5.      Pengecualian Objek Pajak PPh
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak adalah: (a) Bantuan atau Sumbangan dan Hibah; (b) Warisan; (c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal; (d) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang ditperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
(e) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; (f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, bumn, atau bumd, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
(g) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; (h)Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
(i) Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; (j) Dihapus;
(k) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut; Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
(l) Surplus Bank Indonesia selama jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya ketentuan ini; (m) Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan; (n) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan formal, yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Ketentuan Menteri Keuangan.

2.6.      Penghasilan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Yang menjadi objek pajak Bentuk Usaha Tetap adalah :
2.6.1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
2.6.2.      Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
2.6.3.      Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Biaya-biaya yang berkenaan dengan upaya memperoleh penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan BUT. Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, maka biaya administrasi kantor pusat yang tidak diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dan pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harga, paten, atau hak-hak lainnya; imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; dan bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

2.7.      Pengurangan yang Diperkenankan Dari Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah :
2.7.1.   Satu, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
                 (a) Biaya-biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain ; biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan; bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak, kecuali pajak penghasilan;
                 (b) penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempuyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; (c) iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
                 (d) kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; (e) kerugian dari selisih kurs mata uang asing; (f) biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; (g) biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
                 (h) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: (1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; (2) wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan (3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikannya dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; (4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil (Pasal 4 ayat (1) huruf k); yang pelaksanaannya diatur lebih lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; (i), (j), (k), (l), dan (m) Sumbangan yang dapat dibayarkan
2.7.2.   Dua, Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun berikutnya.
2.7.3.   Tiga, Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
      Besarnya PTKP untuk WP orang pribadi menurut Pasal 7 UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku per 1 Januari 2009, adalah seperti tabel dibawah ini :
Status Wajib Pajak
Besarnya PTKP
·         Untuk Diri Wajib Pajak
·         Tambahan untuk WP Kawin
·         Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.
·         Tambahan untuk setiap anggota keluarga (maksimal 3 orang)
Rp  15.840.000
Rp    1.320.000
Rp  15.840.000

Rp    1.320.000

            Namun PTKP yang berlaku saat ini (2012 s/d sekarang) itu adalah :
PTKP
PMK162/PMK.011/2012
Status Wajib Pajak
Besarnya PTKP
·         Untuk Diri Wajib Pajak
·         Tambahan untuk WP Kawin
·         Tambhan untuk setiap anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 orang
Rp 24.300.000
Rp   2.025.000
Rp   2.025.000

2.8.      Penghasilan Wanita Kawin (Suami Istri)
Wanita yang belum kawin dianggap sebagai WP yang mempunyai kewajiban membayar pajak atas dirinya. Jika wanita tersebut mempunyai tanggungan sesuai dengan peraturan perpajakan dapat menambah besarnya PTKP yang akan dikurangkan dari penghasilannya. Namun jika wanita tersebut menikah, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada suaminya. Dengan demikian, penghasilan yang diterima dan kerugian yang diderita wanita kawin tersebut dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penghasilan wanita tersebut berasal dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong oleh pemberi kerja, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) penghasilan yang diterima oleh wanita tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja, dan (2) penghasilannya berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

2.9.      Pengurangan yang Tidak Diperkenankan Sebagai Pengurangan Penghasilan
Berikut ini Biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT seperti disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 : (a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi; (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
(c) pembentukan atau pemupukan dana cadangan; (d) premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh WP orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan; (e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
(f) jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; (g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
(h) pajak penghasilan; (i) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya; (j) gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak dibagi atas saham; (k) sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

2.10.  Sistem Penilaian Dalam Perpajakan
Berikut ini diuraikan ketentuan-ketentuan penilaian harta, menurut Pasal 10 UU No. 36 Tahun 2008 :
2.10.1.  Penilaian Dalam Hal Jual Beli Harta
Jika terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa maka harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima. Sedangkan jika terdapat hubungan istimewa, maka harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2.10.2.  Penilaian Dalam Hal Tukar Menukar Harta
Jika terjadi tukar menukar harta maka nilai perolehan penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
2.10.3.  Penilaian Dalam Hal Likuidasi, Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan Usaha
Penilaian berdasarkan pasal 10 ayat 3, nilai perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
2.10.4.  Pengalihan Harta Sebagai Pengganti Saham
Jika terjadi penyerahan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka harga perolehan atau harga penjualan adalah harga harta yang dialihkan tersebut.
2.10.5.  Penilaian Persediaan
Menurut Pasal 10 ayat 6, persediaan dan pemakaian untuk perhitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Persediaan pada umumnya terdiri atas barang jadi, barang dalam proses, bahan baku, dan bahan pembantu.
Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Sedangkan pemakaian persediaan untuk perhitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata atau dengan menggunakan metode FIFO.

2.11.  Perhitungan Pajak Penghasilan Terutang
Besarnya pajak penghasilan yang terutang adalah perkalian antara penghasilan kena pajak dengan tarif pajak. Dengan demikian, penghasilan kena pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Untuk menghitung besarnya pajak terutang WP Pribadi dalam negeri dapat menggunakan cara biasa (pembukuan) atau cara norma perhitungan (NPPN). Disamping itu, untuk usaha-usaha khusus dengan pertimbangan karena kesederhanaan dapat menghitung PKP dengan Norma Perhitungan Khusus (NPK), berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Langkah-langkah cara menghitung pajak terutang adalah dengan menghitung penghasilan neto, penghasilan kena pajak, tarif pajak, kemudian menentukan besarnya pajak terutang. Berikut ini penjelasan dari langkah-langkah tersebut :
2.11.1.  Penghasilan Neto
Penghasilan neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan untuk dikurangkan berdasarkan peraturan perpajakan. Biaya tersebut adalah jumlah pengorbanan yang dinyatakan dalam nilai uang, yang langsung dibutuhkan untuk menghasilkan barang atau jasa.
2.11.1.1.  Menghitung penghasilan neto dengan cara pembukuan :
Penghasilan neto WP badan dihitung dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan menurut peraturan perundang-undangan pajak yang berlaku.
2.11.1.2.  Menghitung penghasilan neto dengan norma perhitungan :
Norma Perhitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaannya hanya dilakukan jika tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang tidak lengkap, atau pembukuan atau catatan peredaran bruto WP ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Cara perhitungannya adalah seperti dibawah ini :
Penghasilan Neto = % Norma Perhitungan x Peredaran Usaha

Berikut ini ketentuan yang berkenaan dengan penggunaan Norma Perhitungan untuk menghitung penghasilan neto :
2.11.1.2.1.  Berdasarkan Pasal 14 ayat 2, 3, dan 4 UU No. 36 Tahun 2008 berturut-turut adalah jumlah peredaran bruto satu tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah); memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam tenggang waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan; dan WP yang mempunyai peredaran bruto sebesar yang disebut pada ayat 2, yang tidak melapor pada Dirjen Pajak, dianggap menyelenggarakan pembukuan.
2.11.1.2.2.  Wajib Pajak wajib mencatat peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas. Jika WP tersebut juga merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pengusaha Jasa Kena Pajak (PJKP), maka harus mencatat penyerahan PPN terutang dan PPN tidak terutang.
2.11.1.2.3.  Pencatatan bagi WP Pribadi berdasar Peraturan Dirjen Pajak No. PER-4/PJ/2008 adalah sebagai berikut :
WP Pribadi yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan adalah WP yang melakukang kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan Norma Perhitungan; dan WP yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
WP melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bermaksud menyelenggarakan pencatatan harus memperhatikan kententuan tentang batasan peredaran dan/atau penerimaan bruto bagi WP yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan.
WP harus menyelenggarakan pencatatan tentang peredaraan dan/atau penerimaan bruto, penghasilan bruto, yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat final, dan/atau penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.
2.11.2.  Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang.
2.11.3.  Tarif Pajak
Tarif Pajak adalah presentase tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang perpajakan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Besarnya tarif pajak penghasilan diatur dalam Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008, sehingga tarif ini dikenal dengan nama Tarif Umum PPh Pasal 17.
2.11.3.1.  Tarif Pajak Bagi WP OP Dalam Negeri
Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Rp. 0 - Rp. 50.000.000,00
5%
> Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000,00
15%
> Rp. 250.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00
25%
> Rp. 500.000.000,00
30%

2.11.3.2.  Tarif Pajak Bagi WP Badan Dalam Negeri dan BUT
a.       Menggunakan Tarif Tunggal 28% untuk Tahun 2009 dan 25% untuk tahun 2010.
b.      Bagi WP yang telah go public diberikan pengurangan 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat.
c.       Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tariff normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4,8 miliar.
d.      Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada WP OP dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% dan bersifat final.

2.11.4.  Menghitung Pajak Penghasilan Terutang
Skema Perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan menggunakan cara Pembukuan :
Penghasilan Bruto
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan neto usaha
Penghasilan lainnya
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya

Total penghasilan neto
Kompensasi kerugian
Penghasilan Kena Pajak
Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =




Rp. Xxx

Rp. Xxx -

Rp. Xxx

Rp. Xxx -
Rp. Xxx



Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx


Skema perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara Pembukuan :
Penghasilan Bruto
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan neto usaha
Kompensasi kerugian
Penghasilan neto setelah kompensasi kerugian
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak
Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =
Rp. Xxx

Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx

Skema perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara Norma Perhitungan :
Peredaran Usaha
1.      Penghasilan neto (menurut norma perhitungan):
(Peredaran Usaha x % norma perhitungan)
2.      Penghasilan lainnya
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya

Jumlah seluruh penghasilan neto
3.      Penghasilan Tidak Kena Pajak
4.      Penghasilan Kena Pajak
5.      Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh pasal 17 x PKP =




Rp. Xxx

Rp. Xxx -

Rp. Xxx


Rp. Xxx -



Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx

Rp. Xxx


2.12.  Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa akan menjadi penting dalam hubungannya untuk menentukan besarnya penghasilan dan/atau biaya yang akan dibebankan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
2.12.1.  Perbandingan Modal Dan Hutang
Dalam dunia usaha, terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara Hutang dan Modal (Debt Equity Ratio). Jika perbandingan antara hutang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Jika kondisinya demikian, Undang-undang menentukan adanya modal terselubung. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan pajak.
2.12.2.  Dividen yang Diperoleh di Luar Negeri
Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan:
2.12.2.1.  Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor; atau
2.12.2.2.  Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki peyertaan 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
2.12.3.  Wewenang Dirjen Pajak Untuk Menentukan Kembali Penghasilan
Jika terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurag dari semestinya, ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam kondisi tersebut, Dirjen pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan sesuai dengan keadaan semestinya. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, dan indikasi serta data lainnya.
2.12.4.  Wewenang Dirjen Pajak Membuat Perjanjian Tentang Harga Transfer
Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan WP dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untu menentukan harga transfer, yang berlaku selama satu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan negosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APa) adalah kesepakatan antara WP dengan Dirjen Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan tersebut mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan.
2.12.5.  Penetapan Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa terjadi karena adanya keterkaitan, pertalian atau ketergantungan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa, faktor kepemilikan atau penyertaan, adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Dengan demikian, hubungan istimewa dianggap ada apabila: terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% atau lebih baik secara langsung maupun tidak langsung; Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya. Penguasaan yang baik langsung maupun tidak langsung, atau Hubungan istimewa juga bisa terjadi Karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan; dan terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan satu derajat dan/atau kesamping satu derajat.


2.13.  Perhitungan Dan Pembayaran Pajak Pada Akhir Tahun
2.13.1.  Pembayaran Pajak Tahun Berjalan (Kredit Pajak)
Pasal-pasal yag menyangkut tentang pelunasan pajak tahun berjalan ini adalah pasal 21, 22, 23, 24, 25, dan 26. Berikut penjelasan dari pasal-pasal tersebut :
2.13.1.1.  Kredit Pajak PPh Pasal 21
Mengatur tentang pajak yang dibebankan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan atas jasa.
2.13.1.2.  Kredit Pajak PPh Pasal 22
Mengatur tentang pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari usaha dimana pemungutannya melalui pihak ketiga.
2.13.1.3.  Kredit Pajak PPh Pasal 23
Pembayaran oleh WP dalam negeri yang menerima dividen dari perseroan dalam negeri, bunga termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang, sewa, royalti, dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, atau untuk pembayaran jasa.
2.13.1.4.  Kredit Pajak PPh Pasal 24
Mengatur tentang pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diperoleh WP dalam negeri di luar negeri, dan penghasilan tersebut merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.
2.13.1.5.  Kredit Pajak PPh Pasal 25
Untuk meringankan beban WP, pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak bisa diangsur setiap bulan. Besarnya jumlah angsuran setiap bulan berdasarkan pajak terutang yang tercantum pada SPT tahun sebelumnya.
2.13.1.6.  Kredit Pajak PPh Pasal 26
Mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersifat final.
2.13.2.  Kelebihan Pembayaran Pajak
Jika pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah kredit pajak, maka selisihnya bisa dimintakan kembali setelah dilakukan penghitungan dengan hutang pajak dan sanksinya.




2.13.3.  Pajak yang Kurang Disetor
Jika pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit pajaknya, maka sebelum penyampaian SPT harus dilakukan pelunasa atas pajak yang terutang tersebut. Pelunasan kekurangan pajak harus dilakukan selambat-lambatnya sebelum penyampaian SPT PPh (tanggal 31 Maret tahun berikutnya untuk WP OP, atau tanggal 30 April tahun berikutnya untuk WP Badan). Jika Wajib Pajak terlambat membayar kekurangan tersebut, maka Wajib Pajak dibebani denda bunga 2% sebulan.
2.13.4.  Pajak Terutang Nihil
Jika jumlah pajak yang terutang dalma suatu tahun pajak ternyata sama dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan, maka mengakibatkan pajak yang terutang menjadi “Nihil”. Namun demikian, Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk menyampaikan SPT sesuai dengan aturan, yaitu SPT harus disampaikan paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.

2.14.  Fasilitas Perpajakan
Berdasarkan Pasal 31A UU No. 17 Tahun 2000, kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan; Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun; dan Pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%, kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.




2.15.  Pembagian Hasil Penerimaan PPh
Hasil penerimaan negara dari PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.

2.16.  Pengurangan Tarif Pasal 17
Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan taruf pajak sebesar 50% dari tarif umum pasal 17.










BAB 3
PENUTUP
3.      2
3.1. Kesimpulan
Dari bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Umum adalah pajak yang mengatur ketentuan umum subjek pajak dalam maupun luar negeri, baik itu untuk wajib pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, maupun BUT.
Dengan objek pajak maupun pengecualiannya, semuanya telah diatur pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yang kemungkinan juga akan diperbaharui lagi dimasa mendatang, disesuaikan dengan kemajuan tingkat ekonomi masyarakat.
Telah disebutkan bahwa cara penghitungan pajak terutang adalah dengan mengetahui penghasilan netonya terlebih dahulu, yaitu penghasilan bruto yang telah dikurangi biaya-biaya yang boleh dikurangkan, kemudian untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP, dan setelahnya dapat ditetapkan tarif pajaknya yang dikenal dengan Tarif PPh Umum Pasal 17.

3.2. Saran
Untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang sadar pajak, atau taat bayar pajak, sebaiknya tatacara perpajakan selalu diperbaharui sedemikian rupa agar tidak menyulitkan masyarakat Indonesia dalam pengurusannya, dan sebanyak mungkin diadakan seminar-seminar tentang perpajakan, sehingga perpajakan bukan hanya menjadi materi didalam perkuliahan, atau di sekolah menengah tingkat atas.





DAFTAR PUSTAKA


Tjahjono, A., & Husein, M. F. (2009). Perpajakan. Jakarta: UPP-STIM YKPN.
Waluyo, & Ilyas, W. B. (2000). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Resmi, Siti (2009). Perpajakan Teori dan Kasus: Salemba Empat.