BAB 1
PENDAHULUAN
1.
1.1. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber
pemasukan utama APBN yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik
pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak bertujuan meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat melalui perbaikan dan peningkatan pelayanan
publik. Alokasi pajak tidak hanya untuk rakyat pembayaran pajak, tetapi juga
untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib membayar pajak. Dengan demikian,
pajak berfungsi mengurangi kesenjangan antar penduduk sehingga pemerataan
kesejahteraan bisa tercapai. Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara di
sektor perpajakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah.
1.2. Tujuan
1.2.1.
Memahami subjek pajak penghasilan dan
pengecualiannya.
1.2.2.
Memahami kewajiban pajak subjektif.
1.2.3.
Memahami objek pajak penghasilan.
1.2.4.
Memahami penghasilan yang dipotong pajak
bersifat final.
1.2.5.
Memahami pengecualian objek pajak.
1.2.6.
Memahami pengurangan yang diperkenankan
dari penghasilan bruto.
1.2.7.
Memahami penghasilan wanita kawin (Suami
Istri).
1.2.8.
Memahami pengurangan yang tidak
diperkenankan sebagai pengurang penghasilan.
1.2.9.
Memahami sistem penilaian dalam
perpajakan.
1.2.10.
Memahami perhitungan Pajak Penghasilan
Terutang.
1.2.11.
Memahami hubungan istimewa.
1.2.12.
Memahami perhitungan dan pembayaran
pajak pada akhir tahun.
BAB 2
PEMBAHASAN
Sejak
tahun 1994 Pajak Penghasilan dipungut
berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pembahasan Pajak Penghasilan berikut ini didasarkan pada Undang-undang nomor 7
tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor 36
tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
2. D
2.1. Subjek Pajak PPh dan
Pengecualiannya
Yang dimaksud Subjek
Pajak adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan
dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan.
2.1.1.Pembagian Subjek
Pajak
Menurut Pasal 2 ayat
(1) UU No. 36 Tahun 2008 subjek pajak dibagi menjadi Subjek Pajak Orang
Pribadi, Subjek Pajak Warisan Belum Dibagi, Subjek Pajak Badan dan Subjek Pajak
Bentuk Usaha Tetap.
Berdasarkan Pasal 2
ayat (2) UU No. 36 Th. 2008, Subjek Pajak penghasilan dibagi menjadi dua, yakni
:
2.1.1.1.Subjek Pajak
Dalam Negeri
Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu, dan Warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2.1.1.2.Subjek Pajak
Luar Negeri
Yang
dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah : Orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT di Indonesia; dan Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia.
2.1.2.Pengecualian
Subjek Pajak
Yang tidak termasuk
subjek pajak, yaitu : Kantor perwakilan negara asing; Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatic, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat; bukan WNI dan di
Indonesia tidak memperoleh penghasilan di luar pekerjaannya tersebut serta
negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; Organisasi-organisasi
international dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan
tidak menjalankan kegiatan utuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota; Pejabat-pejabat perwakilan organisasi international, dengan syarat
bukan WNI dan tidak menjalankan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
2.2. Kewajiban Pajak Subjektif
2.2.1.Subjek Pajak
Dalam Negeri
Kewajiban Subjek Pajak
orang pribadi dimulai saat orang tersebut dilahirkan atau berada atau berniat
tinggal di Indonesia, dan berakhir saat meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya, sedangkan Kewajiban Subjek Pajak BUT dimulai saat didirikan
atau berkedudukan di Indonesia, dan berakhir saat dibubarkan atau tidak lagi
berkedudukan di Indonesia.
2.2.2.Subjek pajak
Luar Negeri
Kewajiban Subjek Pajak
Non BUT dimulai saat mempunyai penghasilan di Indonesia, dan Subjek pajak BUT
dimulai saat melakukan usaha melalui BUT di Indonesia.
2.2.3.
Warisan Belum Terbagi
Kewajiban Pajak atas
Warisan belum terbagi dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan
sudah terbagi.
2.3. Objek Pajak Pajak Penghasilan
2.3.1.Pengertian
penghasilan
Menurut Undang-undang
Perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima atau diperoleh WP
(Wajib Pajak), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan WP yang bersangkutan
dan dalam bentuk apapun.
2.3.2.Objek pajak
penghasilan
Menurut pasal 4 ayat
(1) UU No. 36 tahun 2008, objek pajak penghasilan adalah seperti berikut ini :
2.3.2.1.
Penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.3.2.2.
Hadiah dari undian, pekerjaan, atau
kegiatan dan penghargaan;
2.3.2.3.
Laba usaha;
2.3.2.4.
Keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta, termasuk:
2.3.2.5.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
2.3.2.6.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
2.3.2.7.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2.3.2.8.
Royalti atau imbalan atas penggunaan
hak;
2.3.2.9.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
2.3.2.10.
Penerimaan atau perolehan pembayaran
berkala;
2.3.2.11.
Keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah;
2.3.2.12.
Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
2.3.2.13.
Premi asuransi;
2.3.2.14.
Iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggota yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
2.3.2.15.
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenai pajak
2.3.2.16.
Penghasilan dari usaha yang berbasis
syariah;
2.3.2.17.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
UU yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
2.3.2.18.
Surplus Bank Indonesia.
2.4. Penghasilan yang Dipotong Pajak
Bersifat Final
Penghasilan yang
dikenai pajak bersift final berdasar pada UU No. 36 tahun 2008 adalah :
2.4.1.Penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi;
2.4.2.Penghasilan
berupa hadiah undian;
2.4.3.Penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan
di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
2.4.4.Penghasilan dari
transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangungan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan penghasilan
tertentu lainnya.
Yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2.5. Pengecualian Objek Pajak PPh
Jenis-jenis penghasilan
yang dikecualikan sebagai objek pajak adalah: (a) Bantuan atau Sumbangan dan
Hibah; (b) Warisan; (c) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan
sebagai pengganti saham atau pengganti penyertaan modal; (d) Penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang ditperoleh dalam bentuk
natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
(e) Pembayaran dari
perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
(f) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, bumn, atau bumd, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia;
(g) Iuran yang diterima
atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan,
baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; (h)Penghasilan dari modal
yang ditanamkan oleh dana pension sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
(i) Bagian laba yang
diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; (j) Dihapus;
(k) Penghasilan yang
diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut; Merupakan perusahaan kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan Sahamnya tidak diperdagangkan
di bursa efek Indonesia.
(l) Surplus Bank
Indonesia selama jangka waktu 5 tahun sejak berlakunya ketentuan ini; (m) Beasiswa
yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur dengan Keputusan
Menteri Keuangan; (n) Sisa lebih yang diterima atau diperoleh yayasan atau
badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan formal, yang ditanamkan
kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Ketentuan Menteri Keuangan.
2.6. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
(BUT)
Yang menjadi objek
pajak Bentuk Usaha Tetap adalah :
2.6.1.
Penghasilan dari usaha atau kegiatan
bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
2.6.2.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis
dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
2.6.3.
Penghasilan sebagaimana tersebut dalam
pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dimaksud.
Biaya-biaya yang
berkenaan dengan upaya memperoleh penghasilan boleh dikurangkan dari
penghasilan BUT. Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, maka biaya
administrasi kantor pusat yang tidak diperbolehkan untuk dibebankan adalah
biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT yang besarnya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak, dan pembayaran kepada kantor pusat yang tidak
diperbolehkan dibebankan sebagai biaya adalah : royalti atau imbalan lainnya
sehubungan dengan penggunaan harga, paten, atau hak-hak lainnya; imbalan
sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; dan bunga, kecuali bunga
yang berkenaan dengan usaha perbankan.
2.7. Pengurangan yang Diperkenankan Dari
Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah :
2.7.1. Satu,
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
(a)
Biaya-biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain ; biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan
pekerjaan; bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah;
premi asuransi; biaya promosi dan penjualan dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak, kecuali pajak penghasilan;
(b) penyusutan atas pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempuyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; (c) iuran
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
(d)
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan; (e) kerugian dari selisih kurs mata uang asing; (f) biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; (g) biaya
beasiswa, magang, dan pelatihan;
(h)
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: (1) telah
dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; (2) wajib pajak
harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan (3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan
Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikannya dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; (4) syarat sebagaimana dimaksud
pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
(Pasal 4 ayat (1) huruf k); yang pelaksanaannya diatur lebih lebih lanjut
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; (i), (j), (k), (l), dan (m) Sumbangan
yang dapat dibayarkan
2.7.2. Dua,
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun
berikutnya.
2.7.3. Tiga,
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Besarnya
PTKP untuk WP orang pribadi menurut Pasal 7 UU No. 36 Tahun 2008 yang mulai
berlaku per 1 Januari 2009, adalah seperti tabel dibawah ini :
Status Wajib
Pajak
|
Besarnya PTKP
|
·
Untuk Diri Wajib Pajak
·
Tambahan untuk WP Kawin
·
Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami.
·
Tambahan untuk setiap anggota keluarga (maksimal 3
orang)
|
Rp 15.840.000
Rp 1.320.000
Rp 15.840.000
Rp 1.320.000
|
Namun PTKP yang berlaku saat ini
(2012 s/d sekarang) itu adalah :
PTKP
PMK162/PMK.011/2012
Status
Wajib Pajak
|
Besarnya
PTKP
|
·
Untuk Diri Wajib Pajak
·
Tambahan untuk WP Kawin
·
Tambhan untuk setiap anggota keluarga sedarah
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya maksimal 3 orang
|
Rp
24.300.000
Rp 2.025.000
Rp 2.025.000
|
2.8. Penghasilan Wanita Kawin (Suami
Istri)
Wanita yang belum kawin
dianggap sebagai WP yang mempunyai kewajiban membayar pajak atas dirinya. Jika
wanita tersebut mempunyai tanggungan sesuai dengan peraturan perpajakan dapat
menambah besarnya PTKP yang akan dikurangkan dari penghasilannya. Namun jika
wanita tersebut menikah, maka kewajiban perpajakannya berpindah kepada
suaminya. Dengan demikian, penghasilan yang diterima dan kerugian yang diderita
wanita kawin tersebut dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.
Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penghasilan wanita tersebut berasal dari
pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong oleh pemberi kerja, dengan
ketentuan sebagai berikut: (1) penghasilan yang diterima oleh wanita tersebut
diperoleh dari satu pemberi kerja, dan (2) penghasilannya berasal dari
pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami
atau anggota keluarga lainnya.
2.9. Pengurangan yang Tidak
Diperkenankan Sebagai Pengurangan Penghasilan
Berikut ini Biaya-biaya
yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Wajib Pajak Dalam Negeri
dan BUT seperti disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 36 tahun 2008 : (a)
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
SHU koperasi; (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
(c) pembentukan atau
pemupukan dana cadangan; (d) premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh WP
orang pribadi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan; (e) penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
(f) jumlah yang
melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan; (g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali
sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf I, huruf j, huruf
k, huruf l, dan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
(h) pajak penghasilan;
(i) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau
orang yang menjadi tanggungannya; (j) gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak dibagi atas
saham; (k) sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
2.10. Sistem Penilaian Dalam Perpajakan
Berikut ini diuraikan
ketentuan-ketentuan penilaian harta, menurut Pasal 10 UU No. 36 Tahun 2008 :
2.10.1.
Penilaian Dalam Hal Jual Beli Harta
Jika
terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa maka harga
perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau
diterima. Sedangkan jika terdapat hubungan istimewa, maka harga perolehan atau
harga penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2.10.2.
Penilaian Dalam Hal Tukar Menukar Harta
Jika
terjadi tukar menukar harta maka nilai perolehan penjualan adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
2.10.3.
Penilaian Dalam Hal Likuidasi,
Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Pemecahan, atau Pengambilalihan Usaha
Penilaian
berdasarkan pasal 10 ayat 3, nilai perolehan atau harga penjualan adalah jumlah
yang dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain
oleh Menteri Keuangan. Selisih antara harga pasar dan nilai sisa buku harta
yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
2.10.4. Pengalihan
Harta Sebagai Pengganti Saham
Jika
terjadi penyerahan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka
harga perolehan atau harga penjualan adalah harga harta yang dialihkan
tersebut.
2.10.5. Penilaian
Persediaan
Menurut
Pasal 10 ayat 6, persediaan dan pemakaian untuk perhitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama. Persediaan pada umumnya terdiri
atas barang jadi, barang dalam proses, bahan baku, dan bahan pembantu.
Penilaian
persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Sedangkan pemakaian
persediaan untuk perhitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan
menggunakan metode rata-rata atau dengan menggunakan metode FIFO.
2.11. Perhitungan Pajak Penghasilan
Terutang
Besarnya pajak
penghasilan yang terutang adalah perkalian antara penghasilan kena pajak dengan
tarif pajak. Dengan demikian, penghasilan kena pajak merupakan dasar
perhitungan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Untuk menghitung
besarnya pajak terutang WP Pribadi dalam negeri dapat menggunakan cara biasa
(pembukuan) atau cara norma perhitungan (NPPN). Disamping itu, untuk
usaha-usaha khusus dengan pertimbangan karena kesederhanaan dapat menghitung
PKP dengan Norma Perhitungan Khusus (NPK), berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan.
Langkah-langkah cara
menghitung pajak terutang adalah dengan menghitung penghasilan neto,
penghasilan kena pajak, tarif pajak, kemudian menentukan besarnya pajak
terutang. Berikut ini penjelasan dari langkah-langkah tersebut :
2.11.1.
Penghasilan Neto
Penghasilan
neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan
untuk dikurangkan berdasarkan peraturan perpajakan. Biaya tersebut adalah
jumlah pengorbanan yang dinyatakan dalam nilai uang, yang langsung dibutuhkan
untuk menghasilkan barang atau jasa.
2.11.1.1.
Menghitung penghasilan neto dengan cara
pembukuan :
Penghasilan neto WP
badan dihitung dengan mengurangkan penghasilan bruto dengan
pengurangan-pengurangan yang diperkenankan menurut peraturan perundang-undangan
pajak yang berlaku.
2.11.1.2.
Menghitung penghasilan neto dengan norma
perhitungan :
Norma Perhitungan
adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus menerus. Penggunaannya hanya
dilakukan jika tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu
pembukuan yang tidak lengkap, atau pembukuan atau catatan peredaran bruto WP
ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Cara perhitungannya
adalah seperti dibawah ini :
Penghasilan
Neto = % Norma Perhitungan x Peredaran Usaha
|
Berikut
ini ketentuan yang berkenaan dengan penggunaan Norma Perhitungan untuk
menghitung penghasilan neto :
2.11.1.2.1.
Berdasarkan Pasal 14 ayat 2, 3, dan 4 UU
No. 36 Tahun 2008 berturut-turut adalah jumlah peredaran bruto satu tahun
kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam tenggang waktu 3 bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan; dan WP yang mempunyai peredaran bruto sebesar
yang disebut pada ayat 2, yang tidak melapor pada Dirjen Pajak, dianggap
menyelenggarakan pembukuan.
2.11.1.2.2.
Wajib Pajak wajib mencatat peredaran
usahanya atau penerimaan bruto dari usaha atau pekerjaan bebas. Jika WP
tersebut juga merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pengusaha Jasa Kena
Pajak (PJKP), maka harus mencatat penyerahan PPN terutang dan PPN tidak
terutang.
2.11.1.2.3.
Pencatatan bagi WP Pribadi berdasar
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-4/PJ/2008 adalah sebagai berikut :
WP Pribadi yang tidak
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pencatatan
adalah WP yang melakukang kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk
menghitung penghasilan neto dengan Norma Perhitungan; dan WP yang tidak
melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
WP melakukan kegiatan
usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bermaksud menyelenggarakan pencatatan harus
memperhatikan kententuan tentang batasan peredaran dan/atau penerimaan bruto
bagi WP yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan.
WP harus menyelenggarakan
pencatatan tentang peredaraan dan/atau penerimaan bruto, penghasilan bruto,
yang diterima dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar
yang penghasilannya merupakan objek pajak yang tidak dikenai pajak bersifat
final, dan/atau penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
2.11.2.
Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan
Kena Pajak merupakan dasar yang digunakan untuk menentukan besarnya pajak
penghasilan yang terutang.
2.11.3.
Tarif Pajak
Tarif
Pajak adalah presentase tertentu yang ditentukan oleh Undang-undang perpajakan
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Besarnya tarif pajak penghasilan
diatur dalam Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008, sehingga tarif ini dikenal dengan
nama Tarif Umum PPh Pasal 17.
2.11.3.1.
Tarif Pajak Bagi WP OP Dalam Negeri
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
Pajak
|
Rp.
0 - Rp. 50.000.000,00
|
5%
|
> Rp.
50.000.000 – Rp. 250.000.000,00
|
15%
|
> Rp.
250.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00
|
25%
|
> Rp.
500.000.000,00
|
30%
|
2.11.3.2.
Tarif Pajak Bagi WP Badan Dalam Negeri
dan BUT
a.
Menggunakan Tarif Tunggal 28% untuk Tahun 2009 dan
25% untuk tahun 2010.
b.
Bagi WP yang telah go public diberikan pengurangan
5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh
masyarakat.
c.
Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan
insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tariff normal yang berlaku
terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4,8 miliar.
d.
Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa
dividen yang dibagikan kepada WP OP dalam negeri adalah paling tinggi sebesar
10% dan bersifat final.
|
2.11.4.
Menghitung Pajak Penghasilan Terutang
Skema
Perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan menggunakan cara
Pembukuan :
Penghasilan
Bruto
Biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan
neto usaha
Penghasilan
lainnya
Biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
Total
penghasilan neto
Kompensasi
kerugian
Penghasilan
Kena Pajak
Pajak
Penghasilan Terutang :
Tarif PPh
pasal 17 x PKP =
|
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
|
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx
|
Skema
perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara
Pembukuan :
Penghasilan
Bruto
Biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
Penghasilan
neto usaha
Kompensasi
kerugian
Penghasilan
neto setelah kompensasi kerugian
Penghasilan
Tidak Kena Pajak
Penghasilan
Kena Pajak
Pajak
Penghasilan Terutang :
Tarif PPh
pasal 17 x PKP =
|
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx
|
Skema
perhitungan PPh Terutang Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan cara
Norma Perhitungan :
Peredaran
Usaha
1.
Penghasilan neto (menurut norma perhitungan):
(Peredaran
Usaha x % norma perhitungan)
2.
Penghasilan lainnya
Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan lainnya
Jumlah seluruh
penghasilan neto
3.
Penghasilan Tidak Kena Pajak
4.
Penghasilan Kena Pajak
5.
Pajak Penghasilan Terutang :
Tarif PPh
pasal 17 x PKP =
|
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
|
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx +
Rp. Xxx
Rp. Xxx -
Rp. Xxx
Rp. Xxx
|
2.12. Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa akan
menjadi penting dalam hubungannya untuk menentukan besarnya penghasilan
dan/atau biaya yang akan dibebankan untuk menghitung penghasilan kena pajak.
2.12.1.
Perbandingan Modal Dan Hutang
Dalam
dunia usaha, terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai
besarnya perbandingan antara Hutang dan Modal (Debt Equity Ratio). Jika
perbandingan antara hutang dan modal sangat besar melebihi batas-batas
kewajaran, maka umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Jika
kondisinya demikian, Undang-undang menentukan adanya modal terselubung. Hal ini
sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah penyelundupan pajak.
2.12.2.
Dividen yang Diperoleh di Luar Negeri
Menteri
Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam
negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan:
2.12.2.1.
Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak
dalam negeri tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor;
atau
2.12.2.2.
Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak
dalam negeri lainnya memiliki peyertaan 50% atau lebih dari jumlah saham yang
disetor.
2.12.3.
Wewenang Dirjen Pajak Untuk Menentukan
Kembali Penghasilan
Jika
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurag dari semestinya, ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam kondisi tersebut, Dirjen pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan sesuai dengan keadaan semestinya. Dalam menentukan kembali
jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan,
misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa, dan indikasi serta data lainnya.
2.12.4.
Wewenang Dirjen Pajak Membuat Perjanjian
Tentang Harga Transfer
Dirjen
Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan WP dan bekerja sama dengan pihak
otoritas pajak negara lain untu menentukan harga transfer, yang berlaku selama
satu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan negosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Kesepakatan
harga transfer (Advance Pricing Agreement/APa) adalah kesepakatan antara WP
dengan Dirjen Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan
tersebut mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan,
jumlah royalti, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan.
2.12.5.
Penetapan Hubungan Istimewa
Hubungan
istimewa terjadi karena adanya keterkaitan, pertalian atau ketergantungan satu
pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa, faktor
kepemilikan atau penyertaan, adanya penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi, adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Dengan
demikian, hubungan istimewa dianggap ada apabila: terdapat hubungan kepemilikan
yang berupa penyertaan modal sebesar 25% atau lebih baik secara langsung maupun
tidak langsung; Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya. Penguasaan yang baik
langsung maupun tidak langsung, atau Hubungan istimewa juga bisa terjadi Karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak
terdapat hubungan kepemilikan; dan terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan satu derajat dan/atau kesamping satu
derajat.
2.13. Perhitungan Dan Pembayaran Pajak
Pada Akhir Tahun
2.13.1.
Pembayaran Pajak Tahun Berjalan (Kredit
Pajak)
Pasal-pasal
yag menyangkut tentang pelunasan pajak tahun berjalan ini adalah pasal 21, 22,
23, 24, 25, dan 26. Berikut penjelasan dari pasal-pasal tersebut :
2.13.1.1.
Kredit Pajak PPh Pasal 21
Mengatur tentang pajak
yang dibebankan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan
atau sebagai imbalan atas jasa.
2.13.1.2.
Kredit Pajak PPh Pasal 22
Mengatur tentang
pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan atas penghasilan dari usaha
dimana pemungutannya melalui pihak ketiga.
2.13.1.3.
Kredit Pajak PPh Pasal 23
Pembayaran oleh WP
dalam negeri yang menerima dividen dari perseroan dalam negeri, bunga termasuk
imbalan karena jaminan pengembalian hutang, sewa, royalti, dan penghasilan
sehubungan dengan penggunaan harta, atau untuk pembayaran jasa.
2.13.1.4.
Kredit Pajak PPh Pasal 24
Mengatur tentang pajak
yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diperoleh WP dalam negeri di
luar negeri, dan penghasilan tersebut merupakan bagian dari seluruh penghasilan
yang dikenakan pajak di Indonesia.
2.13.1.5.
Kredit Pajak PPh Pasal 25
Untuk meringankan beban
WP, pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak bisa diangsur setiap bulan.
Besarnya jumlah angsuran setiap bulan berdasarkan pajak terutang yang tercantum
pada SPT tahun sebelumnya.
2.13.1.6.
Kredit Pajak PPh Pasal 26
Mengatur tentang
pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang
bersifat final.
2.13.2.
Kelebihan Pembayaran Pajak
Jika
pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak ternyata lebih kecil daripada
jumlah kredit pajak, maka selisihnya bisa dimintakan kembali setelah dilakukan
penghitungan dengan hutang pajak dan sanksinya.
2.13.3.
Pajak yang Kurang Disetor
Jika
pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak lebih besar daripada jumlah kredit
pajaknya, maka sebelum penyampaian SPT harus dilakukan pelunasa atas pajak yang
terutang tersebut. Pelunasan kekurangan pajak harus dilakukan
selambat-lambatnya sebelum penyampaian SPT PPh (tanggal 31 Maret tahun
berikutnya untuk WP OP, atau tanggal 30 April tahun berikutnya untuk WP Badan).
Jika Wajib Pajak terlambat membayar kekurangan tersebut, maka Wajib Pajak
dibebani denda bunga 2% sebulan.
2.13.4.
Pajak Terutang Nihil
Jika
jumlah pajak yang terutang dalma suatu tahun pajak ternyata sama dengan jumlah
kredit pajak tahun yang bersangkutan, maka mengakibatkan pajak yang terutang
menjadi “Nihil”. Namun demikian, Wajib Pajak tetap diwajibkan untuk
menyampaikan SPT sesuai dengan aturan, yaitu SPT harus disampaikan paling
lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
2.14. Fasilitas Perpajakan
Berdasarkan Pasal 31A
UU No. 17 Tahun 2000, kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di
bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat diberikan fasilitas perpajakan
dalam bentuk: Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah
penanaman yang dilakukan; Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; kompensasi
kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun; dan Pengenaan PPh
atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%, kecuali apabila
tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
2.15. Pembagian Hasil Penerimaan PPh
Hasil penerimaan negara
dari PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi
kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
2.16. Pengurangan Tarif Pasal 17
Wajib Pajak Badan dalam
negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan taruf pajak sebesar 50%
dari tarif umum pasal 17.
BAB 3
PENUTUP
3. 2
3.1.
Kesimpulan
Dari bab sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa Pajak Penghasilan Umum adalah pajak yang mengatur
ketentuan umum subjek pajak dalam maupun luar negeri, baik itu untuk wajib
pajak orang pribadi, warisan yang belum terbagi, badan, maupun BUT.
Dengan objek pajak
maupun pengecualiannya, semuanya telah diatur pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, yang kemungkinan juga akan diperbaharui lagi dimasa mendatang,
disesuaikan dengan kemajuan tingkat ekonomi masyarakat.
Telah disebutkan bahwa
cara penghitungan pajak terutang adalah dengan mengetahui penghasilan netonya
terlebih dahulu, yaitu penghasilan bruto yang telah dikurangi biaya-biaya yang
boleh dikurangkan, kemudian untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan neto
tersebut dapat dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP, dan setelahnya dapat
ditetapkan tarif pajaknya yang dikenal dengan Tarif PPh Umum Pasal 17.
3.2. Saran
Untuk meningkatkan
jumlah Wajib Pajak yang sadar pajak, atau taat bayar pajak, sebaiknya tatacara
perpajakan selalu diperbaharui sedemikian rupa agar tidak menyulitkan
masyarakat Indonesia dalam pengurusannya, dan sebanyak mungkin diadakan
seminar-seminar tentang perpajakan, sehingga perpajakan bukan hanya menjadi
materi didalam perkuliahan, atau di sekolah menengah tingkat atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Tjahjono, A., & Husein, M. F. (2009). Perpajakan.
Jakarta: UPP-STIM YKPN.
Waluyo, & Ilyas, W.
B. (2000). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Resmi, Siti (2009). Perpajakan Teori dan Kasus: Salemba
Empat.