Sabtu, 25 Mei 2013

PAJAK DAERAH "PAJAK BUMI DAN BANGUNAN"

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG
NOMOR    :    3      TAHUN  2011
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PALEMBANG,

Menimbang     :          
a.       bahwa dengan ditetapkannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009  tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dalam upaya mengintensifkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, perlu mengatur tata cara pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ;
b.      bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  dimaksud  dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah Kota Palembang tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.

Mengingat       :
1.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1821);
2.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209);
3.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3684);
4.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389);
5.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan             Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Nagara RI Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4844);
6.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4438);
7.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5049);
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3258) ;
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737);
10.  Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5161);
11.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2002 Nomor 76) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2007 Nomor 13);
12.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang                   Tahun 2008 Nomor 6);
13.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2008 Nomor 9).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
dan
WALIKOTA PALEMBANG
MEMUTUSKAN :


Menetapkan  :  PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
                         PERKOTAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
                        Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.      Daerah adalah Kota Palembang.
2.      Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Palembang.
3.      Walikota adalah Walikota Palembang.
4.      Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah KotaPalembang.
5.      Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
6.      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pengsiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan benuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
7.       Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Pajak atas Bumi dan / atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh Orang Pribadi / Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
8.      Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kota.
9.      Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
10.  Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau Nilai Perolehan Baru, atau NJOP pengganti.
11.  Kas Umum Daerah adalah Kas Pemerintah Kota Palembang;
12.  Bendaharawan Khusus Penerima untuk selanjutnya disingkat BKP adalah Bendaharawan Khusus Penerima pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
13.  Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14.  Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15.  Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
16.  Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
17.  Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
18.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang.
19.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
20.  Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi adminitrasi berupa bunga dan/atau denda.
21.  Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
22.  Penyidikan Tindak Pidana dibidang Pajak Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana dibidang Pajak Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Pasal 2
1)      Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dipungut Pajak atas    kepemilikan, pengusahaan dan / atau pemanfaatan Bumi dan / atau Bangunan.
2)      Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
3)      Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
a.       Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b.      Jalan tol;
c.       Kolam renang;
d.      Pagar mewah;
e.       Tempat olahraga;
f.       Galangan kapal, dermaga;
g.      Taman mewah;
h.      Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i.        Menara.


4)      Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah   objek pajak yang :
a.       Digunakan oleh Pemerintah untuk penyelenggaraan Pemerintahan ;
b.      Digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c.       Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d.      Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh Daerah, dan tanah Negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
e.       Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; dan
f.       Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

5)      Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar                Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
Pasal 3
1)      Setiap orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan / atau bangunan wajib mendaftarkan objek pajaknya tersebut ke Dinas Pendapatan Daerah.
2)      Dalam hal orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mendaftarkan objek pajaknya maka akan dilakukan pendataan oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Pasal 4
1)      Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
2)      Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatau hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK

Pasal 5
1)      Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah NJOP.
2)      Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk setiap objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
3)      Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Walikota.

Pasal 6
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar  0,3 % (nol koma tiga persen).

Pasal 7
Besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), setelah dikurangi Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5).

BAB IV
MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK

Pasal 8
1)      Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender.
2)      Saat yang menentukan Pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
3)      Tempat pajak yang terutang adalah diwilayah daerah yang meliputi letak Objek Pajak.

Pasal 9
1)      Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
2)      SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Walikota yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

Pasal 10
1)      Berdasarkan SPOP, Walikota menerbitkan SPPT.
2)      Walikota dapat mengeluarkan SKPD dalam hal sebagai berikut :
a.       SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Walikota sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b.      Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan

Pasal 11
1)      Pajak terutang dipungut di wilayah dalam Daerah.
2)      Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
3)      Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Walikota dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
4)      Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa nota perhitungan.


Bagian Kedua
Sanksi Administrasi

Pasal 12
1)      Walikota dapat menerbitkan STPD jika:
a.       Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b.      Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda
2)      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
3)      SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 13
1)      STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
2)      Walikota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 14
1)      Pajak yang terutang berdasarkan STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
2)      Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Keberatan dan Banding

Pasal 15
1)      Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu SKPD;
2)      Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
3)      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4)      Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
5)      Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada                ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
6)      Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 16
1)      Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
2)      Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
3)      Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 17
1)      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota.
2)      Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
3)      Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 18
1)      Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
2)      Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
3)      Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
4)      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada         ayat (3) tidak dikenakan.
5)      Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 19
1)      Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota dapat membetulkan SKPD, STPD, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Walikota dapat:
a.       mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b.      mengurangkan atau membatalkan SKPD, atau STPD;
c.       mengurangkan atau membatalkan STPD;
d.      membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e.       mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.


BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 20
1)      Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Walikota.
2)      Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
3)      Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Walikota  tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka  waktu paling lama 1 (satu) bulan.
4)      Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak atau lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
5)      Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Walikota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
6)      Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VII
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 21
1)      Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
2)      Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a.       diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b.      ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
3)      Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
4)      Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
5)      Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 22
1)      Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
2)      Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3)      Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 23
1)      Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.300.000.000.- (tiga ratus juta rupiah) pertahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
2)      Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal  24
1)      Walikota berwenang melakukan melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a.       Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang.
b.      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
c.       Memberikan keterangan yang diperlukan
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB IX
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 25
1)      Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
3)      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan           ayat (2), adalah:
a.       Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b.      Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
4)      Untuk kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
5)      Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Walikota dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
6)      Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 26      
1)      Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3)      Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas ;
b.      meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah ;
c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah  ;
d.      memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah ;
e.       melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut ;
f.       meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah ;
g.      menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h.      memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan  Daerah ;
i.        memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.        menghentikan penyidikan; dan/atau
k.      melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 27
1)      Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi Surat Pemberitahuan Objek    Pajak (SPOP)dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak         2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2)      Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi Surat Pemberitahuan Objek            Pajak (SPOP) dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak             4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 28
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.


BAB XII
PENUTUP

Pasal 29
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palembang


                                                                                    Ditetapkan di Palembang
                                                                                    pada tanggal                                  2011

                                                                                    WALIKOTA PALEMBANG,


                                                                                    H. EDDY SANTANA PUTRA


DAFTAR PUSTAKA


Sabtu, 25 Mei 2013

PAJAK DAERAH "PAJAK BUMI DAN BANGUNAN"

1 komentar
PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG
NOMOR    :    3      TAHUN  2011
TENTANG
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PALEMBANG,

Menimbang     :          
a.       bahwa dengan ditetapkannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009  tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dalam upaya mengintensifkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, perlu mengatur tata cara pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ;
b.      bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  dimaksud  dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah Kota Palembang tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.

Mengingat       :
1.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1821);
2.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209);
3.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3684);
4.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389);
5.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan             Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Nagara RI Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4844);
6.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4438);
7.      Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5049);
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3258) ;
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737);
10.  Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5161);
11.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2002 Nomor 76) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2007 Nomor 13);
12.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang                   Tahun 2008 Nomor 6);
13.  Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2008 Nomor 9).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
dan
WALIKOTA PALEMBANG
MEMUTUSKAN :


Menetapkan  :  PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
                         PERKOTAAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
                        Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.      Daerah adalah Kota Palembang.
2.      Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Palembang.
3.      Walikota adalah Walikota Palembang.
4.      Dinas Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah KotaPalembang.
5.      Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
6.      Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pengsiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan benuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
7.       Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Pajak atas Bumi dan / atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan oleh Orang Pribadi / Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
8.      Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kota.
9.      Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
10.  Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau Nilai Perolehan Baru, atau NJOP pengganti.
11.  Kas Umum Daerah adalah Kas Pemerintah Kota Palembang;
12.  Bendaharawan Khusus Penerima untuk selanjutnya disingkat BKP adalah Bendaharawan Khusus Penerima pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
13.  Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14.  Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15.  Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
16.  Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Walikota.
17.  Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
18.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terhutang atau tidak seharusnya terhutang.
19.  Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
20.  Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi adminitrasi berupa bunga dan/atau denda.
21.  Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
22.  Penyidikan Tindak Pidana dibidang Pajak Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana dibidang Pajak Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Pasal 2
1)      Dengan nama Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dipungut Pajak atas    kepemilikan, pengusahaan dan / atau pemanfaatan Bumi dan / atau Bangunan.
2)      Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
3)      Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
a.       Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b.      Jalan tol;
c.       Kolam renang;
d.      Pagar mewah;
e.       Tempat olahraga;
f.       Galangan kapal, dermaga;
g.      Taman mewah;
h.      Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i.        Menara.


4)      Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah   objek pajak yang :
a.       Digunakan oleh Pemerintah untuk penyelenggaraan Pemerintahan ;
b.      Digunakan semata – mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c.       Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d.      Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh Daerah, dan tanah Negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
e.       Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; dan
f.       Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

5)      Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar                Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak.
Pasal 3
1)      Setiap orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan / atau bangunan wajib mendaftarkan objek pajaknya tersebut ke Dinas Pendapatan Daerah.
2)      Dalam hal orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mendaftarkan objek pajaknya maka akan dilakukan pendataan oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Pasal 4
1)      Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
2)      Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatau hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA PERHITUNGAN PAJAK

Pasal 5
1)      Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah NJOP.
2)      Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk setiap objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
3)      Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Walikota.

Pasal 6
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar  0,3 % (nol koma tiga persen).

Pasal 7
Besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), setelah dikurangi Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5).

BAB IV
MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK

Pasal 8
1)      Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender.
2)      Saat yang menentukan Pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.
3)      Tempat pajak yang terutang adalah diwilayah daerah yang meliputi letak Objek Pajak.

Pasal 9
1)      Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP.
2)      SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Walikota yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

Pasal 10
1)      Berdasarkan SPOP, Walikota menerbitkan SPPT.
2)      Walikota dapat mengeluarkan SKPD dalam hal sebagai berikut :
a.       SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Walikota sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
b.      Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan

Pasal 11
1)      Pajak terutang dipungut di wilayah dalam Daerah.
2)      Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
3)      Wajib pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Walikota dibayar dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
4)      Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa nota perhitungan.


Bagian Kedua
Sanksi Administrasi

Pasal 12
1)      Walikota dapat menerbitkan STPD jika:
a.       Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b.      Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda
2)      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
3)      SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan

Pasal 13
1)      STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
2)      Walikota atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 14
1)      Pajak yang terutang berdasarkan STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
2)      Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Keberatan dan Banding

Pasal 15
1)      Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat yang ditunjuk atas suatu SKPD;
2)      Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
3)      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4)      Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
5)      Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada                ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
6)      Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Pasal 16
1)      Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
2)      Keputusan Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
3)      Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 17
1)      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota.
2)      Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
3)      Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Pasal 18
1)      Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
2)      Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
3)      Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
4)      Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada         ayat (3) tidak dikenakan.
5)      Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Bagian Kelima
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administratif

Pasal 19
1)      Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota dapat membetulkan SKPD, STPD, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Walikota dapat:
a.       mengurangkan atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b.      mengurangkan atau membatalkan SKPD, atau STPD;
c.       mengurangkan atau membatalkan STPD;
d.      membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e.       mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.


BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 20
1)      Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Walikota.
2)      Walikota dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
3)      Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Walikota  tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka  waktu paling lama 1 (satu) bulan.
4)      Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak atau lainnya, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
5)      Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Walikota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
6)      Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VII
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 21
1)      Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
2)      Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a.       diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b.      ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
3)      Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
4)      Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
5)      Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.

Pasal 22
1)      Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
2)      Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3)      Tata cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 23
1)      Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.300.000.000.- (tiga ratus juta rupiah) pertahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
2)      Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal  24
1)      Walikota berwenang melakukan melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
a.       Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang.
b.      Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
c.       Memberikan keterangan yang diperlukan
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB IX
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 25
1)      Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
2)      Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
3)      Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan           ayat (2), adalah:
a.       Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan;
b.      Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
4)      Untuk kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
5)      Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Walikota dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
6)      Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 26      
1)      Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3)      Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas ;
b.      meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah ;
c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah  ;
d.      memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah ;
e.       melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut ;
f.       meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah ;
g.      menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h.      memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan  Daerah ;
i.        memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.        menghentikan penyidikan; dan/atau
k.      melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)      Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 27
1)      Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi Surat Pemberitahuan Objek    Pajak (SPOP)dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak         2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
2)      Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi Surat Pemberitahuan Objek            Pajak (SPOP) dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak             4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pasal 28
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.


BAB XII
PENUTUP

Pasal 29
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palembang


                                                                                    Ditetapkan di Palembang
                                                                                    pada tanggal                                  2011

                                                                                    WALIKOTA PALEMBANG,


                                                                                    H. EDDY SANTANA PUTRA


DAFTAR PUSTAKA