PERATURAN
DAERAH KOTA PALEMBANG
NOMOR :
3 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA
PALEMBANG,
Menimbang :
a. bahwa
dengan ditetapkannya Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
dalam upaya mengintensifkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan, perlu mengatur tata cara pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan Perkotaan ;
b. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah Kota Palembang tentang
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan.
Mengingat :
1. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dan Kotapraja di
Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI Tahun 1959 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 1821);
2. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209);
3. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara
RI Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3684);
4. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4389);
5. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Nagara RI Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4844);
6. Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 126 Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4438);
7. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
RI Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5049);
8. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara RI Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3258) ;
9. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4737);
10. Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan
Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara RI Tahun
2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5161);
11. Peraturan
Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 tentang Ketentraman dan Ketertiban
(Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2002 Nomor 76) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Daerah kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007 tentang Ketentraman
dan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2007 Nomor 13);
12. Peraturan
Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota
Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2008 Nomor 6);
13. Peraturan
Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang
Tahun 2008 Nomor 9).
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG
dan
WALIKOTA
PALEMBANG
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : PERATURAN
DAERAH TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
PERKOTAAN
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam
Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah
adalah Kota Palembang.
2. Pemerintah
Kota adalah Pemerintah Kota Palembang.
3. Walikota
adalah Walikota Palembang.
4. Dinas
Pendapatan Daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah KotaPalembang.
5. Kepala
Dinas adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
6. Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik
daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pengsiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan benuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
7. Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Pajak
atas Bumi dan / atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan / atau dimanfaatkan
oleh Orang Pribadi / Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
8. Bumi
adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah kota.
9. Bangunan
adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan pedalaman dan/atau laut.
10. Nilai
Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, atau Nilai Perolehan Baru, atau NJOP pengganti.
11. Kas
Umum Daerah adalah Kas Pemerintah Kota Palembang;
12. Bendaharawan
Khusus Penerima untuk selanjutnya disingkat BKP adalah Bendaharawan Khusus
Penerima pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Palembang.
13. Pejabat
adalah pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14. Wajib
Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak
dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
15. Masa
Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib
Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.
16. Surat
Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran
atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau
telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Umum Daerah melalui tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Walikota.
17. Surat
Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah Surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
18. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah
Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terhutang atau tidak seharusnya
terhutang.
19. Surat
Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah Surat
Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
20. Surat
Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk
melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi adminitrasi berupa bunga dan/atau
denda.
21. Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan/atau
bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
22. Penyidikan
Tindak Pidana dibidang Pajak Daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak
Pidana dibidang Pajak Daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK
Pasal
2
1) Dengan
nama Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dipungut Pajak atas kepemilikan, pengusahaan dan / atau
pemanfaatan Bumi dan / atau Bangunan.
2) Objek
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
3) Termasuk
dalam pengertian Bangunan adalah :
a. Jalan
lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan
emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
b. Jalan
tol;
c. Kolam
renang;
d. Pagar
mewah;
e. Tempat
olahraga;
f. Galangan
kapal, dermaga;
g. Taman
mewah;
h. Tempat
penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i.
Menara.
4) Objek
Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. Digunakan
oleh Pemerintah untuk penyelenggaraan Pemerintahan ;
b. Digunakan
semata – mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c. Digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. Merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan
yang dikuasai oleh Daerah, dan tanah Negara yang belum dibebani oleh suatu hak;
e. Digunakan
oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal
balik; dan
f. Digunakan
oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
5) Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,- ( sepuluh juta
rupiah) untuk setiap wajib pajak.
Pasal
3
1) Setiap
orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat atas
tanah dan / atau bangunan wajib mendaftarkan objek pajaknya tersebut ke Dinas
Pendapatan Daerah.
2) Dalam
hal orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai atau memperoleh manfaat
atas tanah dan / atau bangunan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak mendaftarkan
objek pajaknya maka akan dilakukan pendataan oleh Dinas Pendapatan Daerah.
Pasal
4
1) Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
2) Wajib
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata mempunyai suatau hak atas Bumi dan / atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan / atau memiliki, menguasai, dan / atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA
PERHITUNGAN PAJAK
Pasal
5
1) Dasar
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan adalah NJOP.
2) Besarnya
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun,
kecuali untuk setiap objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai
dengan perkembangan wilayahnya.
3) Penetapan
besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Walikota.
Pasal
6
Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3 % (nol koma tiga persen).
Pasal
7
Besaran
Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan dasar pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), setelah dikurangi Nilai Jual
Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5).
BAB IV
MASA PAJAK, SAAT PAJAK TERUTANG DAN
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK
Pasal
8
1) Tahun
Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender.
2) Saat
yang menentukan Pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari.
3) Tempat
pajak yang terutang adalah diwilayah daerah yang meliputi letak Objek Pajak.
Pasal
9
1) Pendataan
dilakukan dengan menggunakan SPOP.
2) SPOP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap
serta ditandatangani dan disampaikan kepada Walikota yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Pasal
10
1) Berdasarkan
SPOP, Walikota menerbitkan SPPT.
2) Walikota
dapat mengeluarkan SKPD dalam hal sebagai berikut :
a. SPOP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak disampaikan dan setelah Wajib
Pajak ditegur secara tertulis oleh Walikota sebagaimana ditentukan dalam Surat
Teguran;
b. Berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang
lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan
oleh Wajib Pajak.
BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK
Bagian
Kesatu
Tata
Cara Pemungutan
Pasal
11
1) Pajak
terutang dipungut di wilayah dalam Daerah.
2) Pemungutan
Pajak dilarang diborongkan.
3) Wajib
pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Walikota dibayar
dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
4) Dokumen
lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa nota
perhitungan.
Bagian
Kedua
Sanksi
Administrasi
Pasal
12
1) Walikota
dapat menerbitkan STPD jika:
a. Pajak
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Wajib
Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda
2) Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar
2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat
terutangnya pajak.
3) SKPD
yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui
STPD.
Bagian
Ketiga
Tata
Cara Pembayaran dan Penagihan
Pasal
13
1) STPD,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan
pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal diterbitkan.
2) Walikota
atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal
14
1) Pajak
yang terutang berdasarkan STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak
pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
2) Penagihan
pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Keempat
Keberatan
dan Banding
Pasal
15
1) Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Walikota atau pejabat yang
ditunjuk atas suatu SKPD;
2) Keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan
yang jelas.
3) Keberatan
harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal
surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4) Keberatan
dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak.
5) Keberatan
yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak
dipertimbangkan.
6) Tanda
penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
Pasal
16
1) Walikota
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
2) Keputusan
Walikota atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
3) Apabila
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota
tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
Pasal
17
1) Wajib
Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Walikota.
2) Permohonan
banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut.
3) Pengajuan
permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
Pasal
18
1) Jika
pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan.
2) Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai
dengan diterbitkannya SKPDLB.
3) Dalam
hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah
pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
4) Dalam
hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
5) Dalam
hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai
sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah
pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Bagian
Kelima
Pembetulan,
Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan
Penghapusan
atau Pengurangan Sanksi Administratif
Pasal
19
1) Atas
permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota dapat membetulkan SKPD,
STPD, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
2) Walikota
dapat:
a. mengurangkan
atau menghapuskan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak
yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena
kesalahannya;
b. mengurangkan
atau membatalkan SKPD, atau STPD;
c. mengurangkan
atau membatalkan STPD;
d. membatalkan
hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak
sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e. mengurangkan
ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib
Pajak atau kondisi tertentu objek pajak.
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB VI
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
PAJAK
Pasal
20
1) Atas
kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pengembalian kepada Walikota.
2) Walikota
dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus memberikan keputusan.
3) Apabila
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui
dan Walikota tidak memberikan suatu
keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan
SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan.
4) Apabila
Wajib Pajak mempunyai utang Pajak atau lainnya, kelebihan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi
terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
5) Jika
pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan,
Walikota memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak.
6) Tata
cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Walikota.
BAB VII
KEDALUWARSA PENAGIHAN
Pasal
21
1) Hak
untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
2) Kedaluwarsa
penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
a. diterbitkan
Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada
pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
3) Dalam
hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat
Paksa tersebut.
4) Pengakuan
utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah
Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan
belum melunasinya kepada Pemerintah Kota.
5) Pengakuan
utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan
permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
Pasal
22
1) Piutang
Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan
sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
2) Walikota
menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Tata
cara penghapusan piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan
Walikota.
BAB VIII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal
23
1) Wajib
Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp.300.000.000.- (tiga
ratus juta rupiah) pertahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
2) Kriteria
Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta tata cara pembukuan atau
pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.
Pasal 24
1) Walikota
berwenang melakukan melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan daerah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
2) Wajib
Pajak yang diperiksa wajib :
a. Memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan
dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang.
b. Memberikan
kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan
memberikan bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
c. Memberikan
keterangan yang diperlukan
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan Pajak diatur dengan Peraturan
Walikota.
BAB IX
KETENTUAN KHUSUS
Pasal
25
1) Setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan daerah.
2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah.
3) Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), adalah:
a. Pejabat
dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan;
b. Pejabat
dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan
kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan
pemeriksaan dalam bidang keuangan daerah.
4) Untuk
kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau
tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
5) Untuk
kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas
permintaan hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,
Walikota dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan
dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
6) Permintaan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau
nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau
perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal
26
1) Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota diberi wewenang
khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang
perpajakan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu
di lingkungan Pemerintah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3) Wewenang
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas ;
b. meneliti,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan
Daerah ;
c. meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan Daerah
;
d. memeriksa
buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah ;
e. melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut ;
f. meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan Daerah ;
g. menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau
dokumen yang dibawa;
h. memotret
seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah ;
i.
memanggil orang untuk didengar
keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j.
menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal
27
1) Wajib
Pajak yang karena kealpaannya mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan
keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar.
2) Wajib
Pajak yang dengan sengaja mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan
keuangan Daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak
4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal
28
Tindak
pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka
waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak
atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang
bersangkutan.
BAB XII
PENUTUP
Pasal
29
Peraturan
Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2012.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palembang
Ditetapkan di Palembang
pada tanggal 2011
WALIKOTA PALEMBANG,
H. EDDY SANTANA PUTRA
DAFTAR
PUSTAKA